Minggu, 03 April 2011

puisi ratapan

Gubuk kecilku

Seuntai kata yang selalu terlantun dari bibir yang lapar
Dari himpitan kelabu malam
Hanya jeritan rintihan yang tak kunjung padam
Dari dulu hingga terlahirnya bayi,selalu begitu

Inilah gubuk kecil tempatku terlahir dan dibesarkan
Dengan isak tangis sampai tak terjamah oleh waktu
Mulai dari pondok kecil sampai berlantaikan bamboo
Mulai dari celana badui sampai celana jeans
Mulai dari santapan jagung,singkong sampai beras bulog
Inilah gubuk kecilku beraneka rupa,warna, sampai tahta tak terbaca

23-03-2011

Senin, 28 Maret 2011

puisi yang tertimbun

Ratapan sunyi
Adakah engkau disana
ketika aku lontarkan kata-kata yang aku tak mengerti maksudnya
adakah engkau disana
ketika aku menarik baju toga yang menjadi kebanggaan orangtua
adakah engkau disana
ketika tangisan ini berubah jadi ratapan
DAN adakah engkau disana
ketika mulut ini sampai berbusa,mengoceh di gedung tua
cucuran tangis tak terbendung hanya ratapan yang sanggup terlatun

22-03-20011

APA MUNGKIN AKU JADI PENULIS?

APA MUGKIN AKU JADI PENULIS?

Kata-kata itulah yang terlantun dibibrku ketika aku memulai menulis.mungkin kata-kata itu yang paling dibenci oleh penulis-penulis yang professional.namun,inilah aku,si anak nelayan yang sederhana memulai menulis menulis dengan penuh tanda Tanya.beribu-ribu Tanya baru yang aku belum tahu jawabannya.aku buka mataku untuk melihat pemandangan gubuk riot,kecil,tempat aku terlahir dan dibesarkan.suasana desa yang kering kerontang yang belum tersentuh oleh tuan-tuan besar.
Berjejaran pohon-pohon randu mengelilingi desaku,seakan-akan tak ada rumput yang hijau,maklumlah ini musim kemarau.musim yang membuat penduduk kebingungan menari nafkah.hari itu,ketika hari sudah meninggalkan pajar, matahari mulai memanas,penduduk desa berduyun-duyun meninggalkan rumah hanya untuk mencari sepotong ubi untuk santapan malam.akupun ikut dalam rombongan itu,segelintir orangpun melihatku denga pandangan terharu penuh tanda Tanya baru,inilah si aku bertubuh dekil,pakain kumal,yang mempunyai cita-cita besar untuk menjadi seorang penulis,hingga orangpun terheran dengan posisi dan kondisiku seperti itu.jiwaku merasa terganggu dengan pandangan seperti itu,ada rasa yang selalu ada pada diri seorang yaitu rasa ragu untuk menjadi penulis besar.ketika itu,seorang bapak tua menghampiriku,iapun berbisik dengan suara terengah-engah”nak,apa jadimu kelak,kalau setiap hari kondisimu seperti ini?”akupun tunduk penuh rasa malu,dengan menyembunyikan keinginanku menjadi seorang penulis besar walaupun aku ini anak nelayan yang sederhana.pak tuapun kembali berbisik kepadakku”nak,kamu jadi apa kelak,kalau setiap hari seperti ini?” akupun berkata lantang”pak salim,itulah nama pak tua tadi,aku terlahir dengan tangisan,aku hidup dengan penuh harapan dan cita-cita besar”.”apa maksudmu nak? Kata pak tua”akupun kembali berkata”ketika sudah keluar dari rahim ibu,dengan tangisan,karena kita sudah melihat keadaan dunia seperti ini,penuh dengan ketertawaan,tawanan,bahkan penderitaan.itulah maksudku pak tua,dan kita hidup dengan penuh harapan dan cita-cita besar.pak tua pun mengangguk.
Di sela-sela pembicaraan,datanglah si Bapak dengan kumis tebal berpakian lengkap seperti serdadu pada zaman jepang.si bapakpun memanggilku dengan kata-kata”nak,sebainya pulang dulu,karena diupuk barat mega-mega telah kelihatan.sudah waktunya tuk kita berlayarkarena musim-musim saat ini begitu sulit untuk dapatkan ikan.akupun mengikuti langkah ayah dengan tunduk dan patuh kea rah mana ia berjalan.sesampai di ujung jalan,aku menjumpai segelintir orang bersiap-siap dengan pakaian andalan berjaket tebal dan membawa peralatan seakan-akan seperti orang mau berperang.
Lautan biru sudah dibuai oleh ombak-ombak saling berkejaran sampai terhempas menyapu pesisir pantai.kamipun segera mendayungkan perahu,perahu dari pohon randu,kecil penuh dengan tambalan,tapi merupakan satu-satunya harapan kami untuk dapat makan,tuk berjuang di sisa zaman serba kekurangan.malam terus berlalu,riak-riak air laut sudah terdengar menabrak perahu kami,sampai membasahi wajah yang polos yang ingin lolos dari keadaan kekurangan jiwa penuh tanda Tanya.seketika itu akupun kembali bertanya pada diriku,apa mungkin aku jadi seorang penulis dengan kekurangan yang begitu kurang,media-media yang masih diangan-anagan dan belum terciptakan.pluggg……suara apa itu yah?akupun terkejut, “aduhh…kailnya jatuh nak,”kata ayah,ayahpun memandangku dengan tatatapan kesedihan dan kebingungan sambil menggaruk-garuk kepala.di sela-sela kebingungan,lewatlah perahu kecil dengan mesin ting-ting,suaranya terngiang di telingaku,akupun berteriak”pak,pak berhenti dulu,si bapakpun berhenti,dengan mata terbuka aku melihat si bapak,ternyata si bapak adalah pak salim yang aku temui siang tadi.ada apa nak?”kata pak Salim” dengan suara tergesa-gesa penuh rasa malu akupun menjawab”sudikah bapak memberikan kami kail? Karena kail punya kami terjatuh akibat benturan ombak tadi,pak salimpun menjawab dengan lemah lembut,ya nak,karena ini demi kebaikan dan kesejahteraan kita semua.si bapakpun pulang tanpa basa basi dengan perahu kecilnya beserta hasil tangkapannya.dengan kail yang telah diberikan pak tua tadi,ternyata kebingungan berubah menjadi kegembiraan,kami mendapat hasil tangkapan tapi tidak begitu banyak,tetapi bisa untuk kami gunakan sebagai santapan malam.

Malam telah begitu mencekam,suasana laut menjadi tidak bersahabat,deru suara mesin sudah terngiang di telinga,sebuah tanda bahwa para nelayan beranjak pulang.ombak-ombak sudah tidak kelihatan,telah berubah menjadi sebuah misteri yang menakutkan.kamipun beranjak pulang dengan membawa hasil tangkapan yang pas-pasan.
Ketika kami sudah sampai di rumah,aku melihat kertas-kertas yang tertulis berserakan dan tertempel di dinding yng berlobang-lobang dan pena tak mau berbicara,hanya menjadi saksi bisu di tengah-tengah sebuah prosesi dalam anterian daftar tunggu tuan besar.

Dengan wajah yang polos yang telah terbasah akibat benturan ombak amukan bahtera,badanku terkapar di punggung bambu berbuku-buku,dengan selipan sebuah buku penulis besar JK Rowling tergeletak di dadaku.berbondong-bondong anak kecil mungil berkejaran membuat tidurku tak bersahabat dengan waktu,membuat mataku terpejam kemudian menganga tak tertidur lagi.
Waktu itu,arah jarum jam sudah menunjukkan 9 malam,hentakan kaki para pemuda desa sudah terdengar,karena baru pulang entah dari mana.akupun terbangun dan melanjutikan kegiatan malam-malam yang kemarin,malam tanpa henti untuk menulis,malam yang aku gunakan untuk mencapi cita-cita besar sebagai seorang penulis.Namun dengan keadaan yang memprihatinkan,nasip yang selalu terhalang dengan media-media yang belum tergambar dan terciptakan,hanya menulis dengan sebuah tinta hitam pemberian pak salim.kata-kata yang sering mucuk ketika mulai menuis “apa mungkin aku aku jadi penulis” dengan keadaan yang memprihatinkan dan menunggu tuan besar datang.namun,dari palung hati yang terjajah sampai terkasih,dari rimba yang mencekam sampai terbinya terang,dari beribu-ribu Tanya sampai satu jawaban,aku yakin aku pasti bisa untuk menjadi penulis besar.

PUISI DUNIA MAYA

Gubuk kecilku
Seuntai kata yang selalu terlantun dari bibir yang lapar
Dari himpitan kelabu malam
Hanya jeritan rintihan yang tak kunjung padam
Dari dulu hingga terlahirnya bayi,selalu begitu

Inilah gubuk kecil tempatku terlahir dan dibesarkan
Dengan isak tangis sampai tak terjamah oleh waktu
Mulai dari pondok kecil sampai berlantaikan bamboo
Mulai dari celana badui sampai celana jeans
Mulai dari santapan jagung,singkong sampai beras bulog
Inilah gubuk kecilku beraneka rupa,warna, sampai tahta tak terbaca

23-03-2011